Sabtu, 04 Desember 2010

Lemah tak berdarah yang masih diperah


Ashari Purwo

"Akan teriak dengan beranggapan pajak adalah pemerasan"
 
Bunyi perda pajak warteg memang belum ditentukan, 4 Desember 2010. Penentuannya, masih digodok dengan didasarkan pada pilihan kepentingan. Termasuk kepentingan upaya meningkatkan pendapatan asli daerah berazas keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Premis: Penerapan pajak yang tepat sasaran buruk bagi ekonomi adalah sebuah kesepahaman yang sudah ada diseluruh kalangan. Tetapi, isu ini masih saja menjadi gagasan memeras bagi pemerintah ketika dihadapkan pada eksekusi kebijakan pajak. Pemerintah sebagai penguasa lebih terkesan sok gagah dalam menerapkan konsep keadilan pajak.

Contohnya, rencana pemerintah DKI Jakarta menerapkan pajak warung kelontong, baik warteg, warkop, dan warung lain jujugan rakayat beromzet kecil, pun diwacanakan. Dengan penuh kontroversi pajak restoran sebesar 10% akan dibebankan pada warung beromzet sedikitnya Rp60 juta pertahun.

Penerapan pajak yang konsepsinya merupakan pungutan yang sangat bisa dipaksakan, pun mampu mendesak rakyat untuk menjadi semakin miskin. Dalam artian, saat pajak diberlakukan sama tinggi dan sama rata pada rakyat, tanpa pandang bulu. Berarti, pendapatan perkapita yang berbeda pun diperas rata 10%.

Saat UU 28/2009 merampas 10% pendapatan dari fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman kelas menengah atas, mereka tak akan bimbang dan bingung, karena pajak akan dibebankan pada konsumen berdaya beli tinggi. Karena restoran sekelas  KFC, Pizza Hut dan restoran kembangan lain dari perusahaan besar memiliki pasar kaya yang lebih jelas dan konsisten.

“Omzet besar mereka berasal dari kocek dalam orang besar pula”. Biar pengunjung tak sepadat warteg, target tahunan berupa angka rupiah pun tetap melebihi batas. Dengan begitu, penerpan pajak nyaris tak akan membebani.

Lain cerita, saat sedikit warteg beromzet besar. Omzet besar warteg rerata berasal dari kocek dangkal rakyat miskin. Rakyat ini pun hampir tak mampu memenuhi kebutuhan makan minum sehari-hari. Tengok saja, saat rakyat miskin ini dihadapkan pada harga kebutuhan makan, seperti beras, sayuran mentah dan harga elpiji yang semakin melambung. “Mendingan beli makanan jadi di warteg”.

Besaran angka Rp6.000 dengan Rp60.000 untuk sekali makan pun tentu berasal dari saku celana yang berbeda rupa. Penempaatan pajak berdasar keadilan pun tetap harus diberlakukan selurusnya garis horizontal penimbang. Jangan lantas hanya berpatok pada bentuk timbal balik pengusaha warteg bagi pemerintah.

Pada rata pemikiran, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara dengan dasar undang-undang, menuntut kearifan dengan meredam kepentingan untuk mencapai kesejahteraan umum. “Karena wajib pajak tidak dapat menuntut balas jasa secara langsung”. Terlebih bagi penyedia fasilitas kelas teri untuk orang kelas teri.

Pada kaca ini, beban pajak pada rakyat miskin ditanggung sama tinggi dengan rakyat kaya. Tentu, rakyat miskin akan teriak dengan beranggapan pajak adalah pemerasan. Serupa tapi tak sama adalah konsepsi dasar penentuan pajak. Sedangkan adil dan tidak adil adalah sebuah konsepsi besar keutuhan negara.