Kamis, 18 November 2010

G-20 & APEC dinilai gagal

Oleh: Dewi Astuti

JAKARTA: KTT G-20 dan APEC yang digelar berurutan pada pekan lalu dinilai gagal menghasilkan keputusan yang dapat mengatasi akar persoalan ketidakseimbangan global yang telah memicu gelembung aset dan risiko proteksionisme.

Para pemimpin forum kerja sama ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Yokohama, Jepang, pada akhir pekan lalu menyatakan komitmen untuk mengambil langkah konkret menuju perjanjian perdagangan bebas di kawasan (Free Trade Area of the Asia Pacific/FTAAP) tanpa menetapkan target waktu pembentukannya.

Pertemuan mereka hanya berselang 1 hari setelah KTT G-20 di Seoul, Korsel yang juga menegaskan janji untuk menentang segala bentuk proteksionisme perdagangan. Namun, mereka tidak mampu menyepakati resep kebijakan untuk menghilangkan distorsi perdagangan dan investasi.

Para kepala negara anggota G-20 menyepakati untuk mengurangi friksi dagang dunia dengan menghindari devaluasi mata uang kompetitif. Akan tetapi di balik layar, pemerintah AS dan China saling menyalahkan kebijakan nilai tukar satu sama lain.

Presiden AS Barack Obama membuat kritik pedas dengan menyatakan yuan terlalu lemah. China dikatakannya menghabiskan banyak dana untuk intervensi pasar supaya yuan tetap undervalue. Sejumlah pejabat China juga menyebut kebijakan quantitative easing oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) melemahkan nilai dolar AS.

Menurut Uwe Parpart, Chief Economist Asia pada Cantor Fitzgerald HK Capital Markets, persoalan yang sangat dikhawatikan banyak orang di negara lain saat ini adalah dampak kebijakan The Fed terhadap aliran modal.

Tidak beri solusi

KTT G-20 dan APEC tidak memberikan solusi atas persoalan itu sama sekali. “Sebuah solusi yang tidak mencakup peningkatan permintaan domestik China dan dorongan tabungan domestik AS hanya mengatasi gejala persoalan, bukan akar masalah sebenarnya,” tuturnya kemarin kepada Bloomberg.

Ketika berpidato pada 13 November, Presiden China Hu Jintao tidak mengindikasikan perubahan dalam kebijakan yuan. Dia menilai tekanan untuk mereformasi yuan secara cepat akan mengganggu kerja sama internasional.

Pada hari yang sama, Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Thomas Donilon mengungkapkan pemerintah Negeri Paman Sam meminta China mengakselerasi yuan sebelum Hu melakukan kunjungan kenegaraan ke Washington DC pada Januari 2011.

China membukukan surplus dagang terhadap AS sebesar US$28 miliar pada Agustus, sehingga makin memperbesar kritik atas kebijakan yuan yang dianggap tidak adil. Yuan telah menguat sekitar 3% terhadap dolar AS sejak 19 Juni ketika bank sentral setempat mengumumkan akan melepas yuan ke pasar.

Di tempat terpisah, dalam situs resmi IMF, Direktur Pelaksana IMF Dominique Strauss-Kahn menyatakan akan melakukan penilaian dan monitoring terhadap ketidakseimbangan eksternal di suatu negara agar bisa diambil aksi pencegahan dan perbaikan.

Para kepala negara anggota G-20 telah memberikan mandat kepada IMF untuk menggodok pedoman sistem peringatan dini terkait ketidakseimbangan dagang dan investasi. Pedoman ini akan dikembangkan pada tahun depan ketika Prancis memegang kursi kepresidenan G-20.

Ekonom Aviliani menilai agenda antikorupsi yang dibawa Indonesia dalam KTT G20 di Seoul tidak pada tempatnya, mengingat pengawasan korupsi di dalam negeri sendiri masih perlu dibenahi.

Seharusnya Indonesia dapat lebih memanfaatkan forum itu untuk ‘berkampanye’ tentang iklim investasi di Indonesia.

“Kita tidak perlu bawa agenda yang berlebihan, G-20 itu hanya forum. Tidak ada kewajiban untuk menjalani hasil KTT dan ngga ada sanksi jika tidak menjalani. Seharusnya Indonesia dapat memanfaatkan forum itu untuk berkampanye bahwa Indonesia masih bagus untuk tujuan investasi dalam 6 tahun ke depan,” katanya. (14)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar