Minggu, 21 November 2010

Politisasi pembiaran kasus kekerasan TKI masih terjadi

“Hingga saat ini pemerintah belum memutuskan sikap politis, misalnya dengan menggugat pada Mahkamah Internasinal, untuk mencegah terjadinya kembali kasus kekerasan”


SURABAYA: Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menilai masih ada politisasi pemerintah pada negara tujuan kerja terkait penyelesaian kasus kekerasan dan pelanggaran hak normatif yang menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI).

Ketua SBMI Jawa TImur Muhammad Cholili  mendesak kepada pemerintah untuk segera mengambil sikap politis pada seluruh negara tempat TKI bekerja.

Pemerintah masih melakukan pembiaran pada sejumlah kasus kekerasan yang mengakibatkan TKI menjadi korban kekerasan hingga kasus eksploitasi perdagangan Manusia (Human Trafficking) pada calon TKI. Seperti halnya kasus penganiayaan terhadap tenaga kerja asal Indonesia, Sumiati, 23 tahun asal NTB dan kasus meninggalnya TKI bernama Kikim Komalasari asal Cianjur Jabar, di Arab Saudi.

“Kasus sumiati dan Kikim bukanlah kasus baru. Pemerintah RI dengan sikap politiknya, harus segera menuntaskan kasus itu dengan memastikan tanggung jawab sesuai hukum,” kata Cholili. SBMI menilai, tindakan pemerintah pada sejumlah kasus masih berorientasi pada penanganan jikalau kasus kekerasan yang menyebaban TKI meninggal. “Belum pada ranah pencegahan dan proyeksi pengamanan calon TKI dan TKI yang sudah bekerja,” kata Cholili.

Cholili mengatakan, sejumlah kasus kekerasan harus segera dituntaskan mengingat banyak warga Indonesia, terutama Jatim, yang mengadu nasib ke luar negeri dengan bekerja berbagai harapan kebaikan. Data di Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (UPTP3TKI) Jatim mencatat sebanyak 46.418 orang menjadi TKI selama 2009. “Mengacu pada data, sedikitnya 18.461 TKI asal Jatim menjadi korban perdagangan manusia, pada 2009,” kata Cholili.

Sementara menurut catatan SBMI, selama tahun 2010 tidak kurang dari 180 TKI asal Jawa Timur meninggal di negara tujuan mereka bekerja. Tercatat, sedikitnya dua TKI per hari diterima bandara cargo Juanda, Surabaya dipulangkan dalam keadaan meninggal. “Fakta data itu SBMI peroleh dari Terminal Cargo Juanda, sebagai pusat pemulangan jenazah TKI asal Jatim,” kata Cholili.

Pada kasus yang menimpa TKI, Cholili mengatakan, pemerintah telah mengabaikan UU 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. “Pada pasal 6, tertera Pemerintah bertanggungjawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri,” tegas Cholili.

Cholili menjelaskan, penyebab maraknya TKI yang menjadi eksploitasi antara lain informasi yang diterima calon TKI masih minim terkait dengan prosedur penempatan TKI ke luar negeri dan calo TKI yang berkeliaran di mana-mana. “Dalam hal ini pemerintah melalui Disnakertrans masih lemah dalam melakukan pengawasan terhadap maraknya calo yang ada di sejumlah kabupaten/kota di Jatim," kata Cholili.

Selain itu, dokumen TKI yang menjadi korban eksploitasi dan perdagangan manusia dipastikan palsu, sehingga SBMI terkadang kesulitan untuk memproses persoalan tersebut. Dari 18.461 TKI yang menjadi korban `trafficking` , hanya 300 TKI mengadukan kasus eksploitasi kepada SBMI Jatim. Bahkan sebanyak 60 buruh migran anak-anak menjadi korban "trafficking" anak-anak.

Perencanaan masalah TKI harus segera disusun dan diterapkan oleh pemerintah terhadap para calo TKI dan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) `nakal` yang menjadi salah satu penyebab TKI terlantar di negara tujuan. Dengan komitmen proyeksi pelaksanaan dan penentuan negara tempat bekerja, angka kasus kekerasan dan penegakan hak normatif pada TKI diprediksi akan menurun.(ashari purwo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar