Kamis, 19 Agustus 2010

Kenaikan si hijau yang tak ramah

SURABAYA: Pemerintah berencana menyamakan tarif elpiji dengan dalih disparitas harga antara gas elpiji kemasan 3 kilogram dengan 12 kilogram hingga memicu banyaknya kecurangan, dan kabarnya konsep penyetaraan akan diumumkan hari ini.

Banyak pihak medesak, untuk membatalkan penaikan guna penyetaraan harga gas dalam tabung hijau hasil konversi minyak tanah itu. Pasalnya, konsep penaikan harga gas hanya mengacu pada antisipasi tindak kriminal dari sekelompok oknum pengoplos gas 3 kilogram ke dalam tabung 12 kilogram. Bukan pada aspek keekonomisan, sosial dan kemasyarakatan. Karena, pelaksanaannya masih memerlukan pengkajian yang mendalam karena menyangkut program konversi bahan bakar minyak tanah ke gas.

Jika pengoplosan adalah pangkal masalah, pemerintah dan PT Pertamina sebagai leading sector hanya harus meningkatkan pengawasan dan kewaspadaan pada tingkat distributor maupun pengecer. Penyelesaian bukan pada menaikkan harga komoditas. Penaikan itu hanya menunjukkan ketidakpedulian pemerintah terhadap penderitaan rakyat. Dan jangan sampai niat baik pemerintah menghilangkan disparitas harga, malah masyarakat yang menjadi sasaran melambungnya harga si bulk hijau.

Pemerintah hanya cukup memberikan efek jera kepada pengoplos, dengan meningkatkan pengawasan. Bukan pada penaikan harga yang justru mengorbankan rakyat kecil. Saat ini, masyarakat masih dibingungkan dengan perubahan kebiasaan dari minyak tanah menjadi memakai tabung gas, karena minimnya sosialisasi dari Pertamina dan pemerintah.

Selain itu, penaikan dipastikan mendorong para spekulan beraksi menaikkan harga barang. Sudah banyak pengalaman mengajarkan, bahwa mewacanakan kenaikan harga energi akan mendorong spekulan memicu kenaikan harga sejumlah bahan pokok. Seperti halnya penaikan tarif dasar listrik (TDL) dan bahan bakar minyak. Banyak spekulan lantas dengan seenaknya menaikkan harga gula dan beras, dengan alasan listrik mahal dan biaya angku juga mahal.

Segala konsekuensi yang dihadapi masyarakat adalah beban hidup yang semakin berat. Inflasi hanya didorong pada naiknya harga sejumlah kebutuhan pokok, tidak ada aspek investasi. Daya beli masyarakat turun sementara harga kebutuhan pokok naik tajam. Sementara pemerintah, hanya mengandalkan operasi pasar dan memberikan pernyataan “Ini dampak psikologis pasar”.

Pemerintah sebagai enentu kebijakan harus pandai berhitung, terutama kalkulasi dengan mata terbuka. Penaikan harga gas elpiji, harus ada rentang waktu yang cukup panjang sebelum menambah beban baru bagi warga yang hidupnya semakin terhimpit. Memperhitungkan aspek sosial juga tak kalah penting. Menjelang serangkaian hari raya umat beragama, mulai Lebaran hingga Natal dan kebutuhan memasuki bulan Ramadan, kenaikan elpiji tentu akan sangat memukul ekonomi masyarakat bawah. Pengkajian penaikan harga diperlukan komposisi yang sesuai lengkap dengan kompleksitas yang tinggi.

Memang, penaikan elpiji hanya sebuah wacana bentuk penyelesaian tindak kriminal oleh pengoplos. Namun, penyelesaian yang dilontaran justru mengarah pada penaikan penaian elpiji. Bukan pada pembentukan satgas, tim khusus, atau malah regulasi lain yang memberikan pengetatan SNI kepada seluruh perangkat hingga masyarakat benar-benar merasa aman menggunakan tabung kecil bersubsidi.

Sementara, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Provinsi Jawa Timur mendesak pemerintah untuk segera kembali menyediakan secara lancar minyak tanah (mitan) bersubsidi untuk memperkecil banyaknya kasus ketimpangan ada elpiji bersubsidi, 3 kilogram.

Ketua YLKI Jatim Said Sutomo mengatakan, mahalnya harga yang harus dibayar konsumen, saat elpiji mengalami gangguan hingga tak jarang mengakibatkan kecelakaan, cukup menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk memberikan pilihan. Selain itu, masih banyak konsumen yang belum tahu bagaimana menggunakan kompor elpiji karena minimnya sosialisasi penggunaan dan standar tindakan pengamanan saat terjadi tabung gas mengalami kebocoran dari pertamina.

Said memaparkan, penyediaan opsi dari pemerintah harus segera dilakukan mengingat banyaknya kasus pada elpiji 3 kilogram. Mulai dari meledaknya gas pada tabung elpiji dan penyediaan komponen yang tidak berstandar, termasuk tabung, selang, regulator. “Serta pengurangan volume isian yang tidak terstandar yang semuanya bisa hingga mengakibatkan kecelakaan yang menelan korban jiwa,” kata Said.

Bedasar data situs resmi YLKI Jatim, sejak awal program konversi elpiji kemasan 3 kg, terdapat 88 kasus ledakan tabung gas elpiji di seluruh Indonesia. Menurut penelusuran dari YLKI, setidaknya ada 66% atau sekitar 29,5 juta tabung gas dari 44 juta tabung gas elpiji yang tidak layak pakai. Sebanyak 50% atau 22 juta unit kompor tidak layak pakai dan sekitar 20% atau 8,8 juta unit regulator yang tidak memenuhi SNI. Bahkan, 100% selang yang digunakan masyarakat saat ini tidak layak.

Menanggapi isu kenaikan harga tabung elpiji berukuran tiga kilogram, Assistant External Relation PT Pertamina Regional V Jatim, Bali, dan Nusa Tenggara Barat - Nusa Tenggara Timur, Eviyanti Rofraidah menambahkan, sampai sekarang belum ada ketentuan apa pun dari Pemerintah Pusat. “Saat ini, sepertinya Pemerintah Pusat masih menghitung besaran subsidi yang diberlakukan mendatang,” kata Evy.

Terkait stok elpiji, ia membenarkan, sampai kapanpun berapa yang diminta oleh pasar akan dipenuhi Pertamina mengingat pihaknya memiliki ketersediaan cukup. “Selain itu, kami didukung oleh besarnya kapasitas produksi dari sejumlah depot elpiji yang berada di sejumlah titik di Jawa Timur. Salah satunya Depot Elpiji Tanjung Perak,” kata Evy.ASHARI PURWO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar