Kamis, 19 Agustus 2010

Sepenggal Kisah Kala Kang Ibing Jadi Dai

KOMPAS: Raden Aang Kusmayatna Kusumadinata atau gampangnya panggil saja Kang Ibing. Ia adalah sosok yang penuh warna. Mengawali kariernya sebagai pelawak, aktor film, pembawa acara hingga pendakwah. Profesi terakhir dijalani Kang Ibing hingga akhir hayatnya. 

Kang Ibing dikenal sebagai sosok yang rendah hati. Ia bisa bergaul dengan siapa saja tanpa sekat, tak terkecuali tukang sambit rumput hingga tukang becak.
Obrolannya tentu saja tentang hal-hal yang 'kecil', 'murah', dan merakyat.  Ini berbeda sekali dengan kegiatan Ibing saat hadir bersama "selebriti' yang wangi dan mentereng.

Bergaul dengan  orang-orang bawah memberi keyakinan kepada Kang Ibing untuk tetap menginjak bumi.   Kang Ibing memang bisa merasakan berbagai macam nuansa kehidupan itu. 

Ber'profesi'  sebagai pelawak membawanya lebih banyak melanglang buana. Ia sudah ke Australia dan tentu saja ke berbagai sudut Nusantara.  Inilah yang membuatnya merasakan nikmat hidup ketika bisa mencicipi  nuansa-nuansa kehidupan yang amat berbeda dari waktu ke waktu.

Kepada wartawan HU Kompas, TD Asmadi, di tahun 1997,  mahasiswa drop out Fakultas Sastra jurusan Sastra Rusia Universitas Padjadjaran, Bandung, itu menuturkan kisahnya terlebih sebagai seorang pendakwah. Ada warna dan nuansa yang berbeda.  Ya,  bisa jadi, malam hari  ia berceramah di sebuah hotel mewah dan mentereng, lalu esok harinya memberi siraman rohani pada acara khitanan seorang anak yang orangtuanya sangat sederhana.
  
"Barangkali, biaya seluruh khitanan anak itu hanya cukup untuk membeli makan sepuluh orang yang hadir di hotel tadi malam," ujarnya kala itu.
   
Pada kesempatan lain, ia harus berjalan kaki beberapa kilometer untuk sampai di rumah pengundang, karena kendaraan beroda empat tidak bisa masuk. Padahal beberapa waktu sebelumnya dengan nikmat ia tidur di atas mobil yang melaju di jalan bebas hambatan.

Karena itulah,  ia mengenal betul apa yang dikatakan orang tentang kesenjangan
itu. Ia pernah merasakan hidup di antara mereka yang berlebihan, dan juga di antara mereka yang pas-pasan, bahkan kekurangan. Katanya, "itu yang tidak bisa dirasakan orang lain. Saya sangat bersyukur."
   
Karena berbagai nuansa itu, ia pernah merasakan pengalaman-pengalaman  yang tidak dirasakan orang lain. Ia, misalnya, pernah diarak berkeliling desa siang hari sebelum malam harinya melakukan ceramah. Ia pernah mendapat seekor kerbau, sebagai honor ceramah - yang tentu saja ditolaknya.

Tuturnya, "bagaimana saya membawanya dan bagaimana pula nanti saya
memeliharanya?"
   

Suatu waktu, ketika diundang ke suatu pesantren, ia diajak berbicara
bahasa Arab seorang kyai sepuh.  "Saya hanya bisa senyum-senyum saja, karena memang saya tidak bisa berbahasa Arab," ceriteranya.
   
Pada waktu yang lain, ketika sedang berceramah, ia dibisiki tuan rumah, agar pecinya dimiringkan, persis seperti ketika berperan sebagai Kang Ibing. "Tentu saja bingung, tetapi saya kabulkan juga meski hanya sebentar karena itu permintaan anak tuan rumah yang dikhitan," kata Ibing, yang kala itu berusia 52 tahun.

Rupanya, Ibing diundang atas permintaan anak yang disunat, sehingga ketika Ibing tampil tidak dengan peci yang dipalangkan, sang anak protes.
   
Pada saat lain ia diminta mengobati seorang anak yang sedang sakit. Pernah juga dia diminta menyembuhkan orang yang kesurupan. "Saya tempeleng saja, eh, malah dia sembuh," ujar Ibing.
                               
Menjadi pendakwah bolehlah disebut tidak pernah dicita-citakannya.  Suatu hari ketika Hadori, yang punya warung sate di depan Stasiun Kereta Api Bandung, mengadakan hajatan, yang diundang untuk berceramah tidak datang. Ibing pun diminta tampil, kata tuan rumah, "tiga menit saja."

Jadilah Ibing berdiri di depan dan berbicara seingatnya. "Rupanya ada orang yang tertarik, lalu esok harinya mengundang saya. Begitu seterusnya sampai sekarang," ujar suami seorang istri, Nike Wahyuningsih, dan ayah dari tiga anak, yakni Dikdik Kusumadika, Mega Kusmananda, dan Diane Fatmawati.
   
Meski tidak 'disengaja', dia tidak sembarangan tampil. Ia selalu mempersiapkan segala sesuatunya sebelum muncul. Ia membaca-baca buku yang sesuai dengan yang akan hadir. Ia bisa melakukan itu karena sebelum menjalani 'profesi' pendakwah ini, ia mempunyai kegemaran membaca buku, semua macam buku.
   
"Karena kini saya sering berceramah agama, prioritas buku-buku yang saya beli adalah buku-buku agama," katanya.
  
Membaca buku merupakan kenikmatan tersendiri bagi Ibing. "Kalau kita membaca sebuah buku, rasanya kita ngobrol dengan penulisnya. Karena itu kalau saya baca buku karangan Al Ghazali, serasa saya berbicara langsung dengan Al Ghazali," tuturnya.

Kang Ibing Ingin Bangun Ponpes di Cimalaka

Kang Ibing semasa hidupnya bercita-cita ingin mendirikan sebuah pondok pesantren sebagai sarana dirinya untuk berdakwah.

"Bapak pernah bilang ingin mendirikan pesantren di Cimalaka, Sumedang. Selain itu bapak juga ingin melihat anak-anaknya berhasil," kata anak pertama almarhum, Dikdik Kusmadi (32), di Bandung, Kamis (19/8/2010) malam.

Ia mengatakan, selama ini ayahnya memang mengidap penyakit jantung, namun tidak pernah mengeluh.  "Kalaupun sakit tidak pernah mengeluh, bapak tetap melakukan aktivitasnya terutama berdakwah," kata Dikdik.

Raden Aang Kusmayatna Kusumadinata atau Kang Ibing lahir pada 20 juni 1946. Kang Ibing meninggal pada Kamis sekitar pukul 20.45 WIB.

Almarhum meninggalkan satu orang istri, Nike Wahyu Ningsih dan tiga anak, Dikdik Kusmadi, Mega Kusmanada, dan Diane Fatmawati.

Seniman sunda yang juga pelawak ini meninggal dunia di Rumah Sakit Al Islam Bandung. "Benar, pukul 20.45 tadi Kang Ibing meninggal dunia di UGD Rumah Sakit Al Islam," kata operator Rumah Sakit Al Islam Abu Agna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar